CerpenSastra

Sekolah Kehidupan

Aku lelah. Aku lelah menjalani kehidupan yang statis ini. Aku hanya berpikir sepertinya pergi ke daerah Gaza sana merupakan pilihan yang baik, karena akan langsung menjadi syahid, menyusul para syuhada’ yang sudah mendahului.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Aku mempunyai tiga pekerjaan yang harus dilakukan setiap harinya. Pagi hari, aku menjadi pelayan restoran terdekat di rumahku. Siang hari, aku mengambil kelas yang menyediakan waktu di siang hari, kelas khusus para siswa yang bekerja pada pagi hari. Malam harinya, aku menjadi karyawan di supermarket ternama.

Memang sungguh lelah rasanya. Aku hanya ingin bermimpi, bisakah diriku yang berwujud satu ini terbagi menjadi tiga bagian? Agar aku bisa fokus dan maksimal mengerahkan segala kekuatanku di setiap pekerjaanya. Aku ingin bertanya kepada siapapun yang bisa menjawab pertanyaan ini, ‘mengapa semua ini terjadi padaku?’

Hidup di pusat kota mungkin bagi pengunjung yang sekali dua kali kemari merupakan hal yang menyenangkan, tapi tidak bagi penduduk tetap disini, harus bekerja keras agar tetap dapat menyambung hidup. Mungkin saja aku tidak melakukan semua hal ini jika papa mengajarkan cara merelakan kepergianya kepada kami semua.

Dahulu, papa adalah seorang detektif yang jujur. Berkat kejujuranya, nyawanya kandas karena ingin melaporkan hasil penyelidikanya kepada pihak yang berwajib. Papa dibunuh oleh pembunuh bayaran yang sampai kini tidak terdeteksi warna identitasnya. Papa tidak hanya dibunuh, papa juga dilemparkan fitnah kejam yang dituduhkan kepadanya.  Kasus yang dihadapi bukan kasus yang biasa, karena pelakunya adalah seorang hakim yang terungkap melakukan tindakan yang tidak dibenarkan, hakim tersebut tidak menjalankan perannya sebagaimana fungsinya.

Aku hanya ingin bermimpi, bisakah diriku yang berwujud satu ini terbagi menjadi tiga bagian?

Pekerjaan mama sebagai guru terciprat fitnah kejam yang dialamatkan papa. Menurut pihak sekolah, sebagai seorang guru tidak boleh memiliki riwayat pelanggaran hukum. Bagaimanapun, seorang guru adalah panutan untuk peserta didik yang tak boleh memiliki sedikitpun cela.

Atas semua hal yang telah terjadi, peran tulang punggung dibelokkan kepadaku dan mama. Sebagai laki-laki sulung dari empat bersaudara, mau tidak mau aku yang memerankan peran ini, membantu meringankan beban mama. Aku pun mengubur dalam-dalam mimpiku yang menjadi penulis, karena hobi membaca yang ditanamkan papa. Menurutku, hal semacam itu menjadi hal yang tak mungkin karena aku tidak mempunyai waktu untuk membaca, ataupun menulis. Waktu yang kumiliki hanya untuk bekerja keras.

Aku ingin sekali bertanya kepada Tuhan, mengapa kehidupan ini terjadi padaku? Mengapa kehidupan sangat keras kepadaku? Mengapa Engkau mengambil kehidupanku yang indah dan membalikkanya menjadi sekejam ini? Mengapa Engkau kejam sekali membiarkan papa tewas beserta tuduhan fitnah kejam yang disematkan kepadanya? Mengapa dan mengapa? Karena Tuhan masa bodoh padaku, aku pun mengabaikan-Nya.

Sekali lagi, aku lelah. Sepertinya meninggalkan kelas pada siang hari merupakan pilihan yang tepat. Tapi, tiba-tiba terbesit petuah yang pernah singgah melewati kedua telingaku dengan jelas, bahwa dapat duduk di deretan bangku sekolah itu merupakan anugerah Tuhan, tentu harus disyukuri. Oh, ternyata Tuhan masih baik padaku.

Malam ini, aku diperbolehkan pulang setelah menyelesaikan beberapa hal yang harus dikerjakan. Atap supermarket tempatku bekerja mengalami kerusakan yang melimpahkan pengaruh kerusakanya pada barang-barang yang sudah tertata rapi di dalam etalase. Eko, rekan kerjaku yang sering bekerja bersamaku tidak masuk untuk shift malam ini, karena sedang sakit. Semua pekerjaan ini membuatku sedikit repot karena aku bekerja sendirian.  

Karena jam pulangku menemui keterlambatanya, membuatku tertinggal jadwal bus terakhir. Aku menghela napas, kepalaku terasa agak sedikit pening. Tapi aku tetap memaksa kedua kakiku berjalan menuju halte yang masih memiliki jarak yang cukup jauh dari tempatku berjalan. Di sepanjang jalan yang kulalui, banyak berita dengan mudah menampakkan kabarnya. Aku membaca berita dengan saksama, sesuatu yang dikabarkan benar-benar tak masuk akal. Para dokter di belahan negara sana mengijinkan pengeboman rumah sakit yang berada di negara tetangganya, yang diduga menjadi negara musuh mereka dalam berperang. Yang aku tahu, dokter itu disumpah dengan sumpah kepentingan peri kemanusiaan. Lalu, para dokter yang keji ini disumpah pakai sumpah apa?

Kuarahkan telunjukku untuk membaca berita yang lebih luas. Berita dunia kali ini dipenuhi dengan kabar kriminalitas dalam peperangan, antara dua negara yang berperang didasari atas masalah keyakinan. Perang yang terjadi benar-benar diluar dugaan, karena menjadikan target wilayah setiap jengkalnya adalah puing-puing reruntuhan bangunan. Warga sipil menjadi sasaran, yang seharusnya tidak seperti itu dalam catatan aturan peperangan. Bak neraka dunia, sedikit sekali keluarga yang masih utuh di negara itu. Ayah yang menangisi kepergian anaknya, ibu yang menangisi kematian bayinya, ataupun sebaliknya, anak kecil tak berdaya yang sudah ditinggalkan kedua orang tuanya. Karena sedikit sekali keluarga yang utuh, siapapun yang masih hidup ditinggalkan oleh keluarga sedarahnya dalam negara itu membentuk perkumpulan dengan mereka yang sama-sama masih hidup bernasib sama dan membentuk keluarga baru.

Kisah nyata mereka membuatku termenung. Keceriaan itu, senyum itu, kebahagiaan itu bersama keluarga baru yang tak sedarah, masih saja menghampiri pada kedua sudut bibir mereka, asli tanpa rekayasa. Keimanan mereka kepada-Nya masih berpegang kuat, tak geser sekalipun. Lalu, aku berpikir, jika nasib kejam yang mereka miliki sekarang berpindah kepadaku, apakah aku akan sanggup memikulnya?

Tanpa kusadari, mataku basah. Aku hanya berpikir, mengapa diriku terlalu egois dan menyalahkan Tuhan? Padahal saudaraku di belahan negara sana banyak sekali yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Kehidupan yang mereka alami tentu berkali lipat lebih keras dengan kehidupan yang kumiliki. Tapi tetap saja semua ketulusan senyum itu tergambar pada wajah-wajah mereka. Aku menghapus buliran air yang sempat menghampiri kedua pipiku dan memutuskan untuk berjalan menuju halte sebelum aku benar-benar kehilangan bus malam yang menyediakan kesempatan untukku berpulang tanpa jadwal yang ditetapkanya.

Aku berjalan menyusuri jalan menuju halte. Dalam jam malam yang larut, mudah saja ditemukan orang-orang yang berkasur gerobak, berselimut karung, beratap langit ditemani angin malam.  Oh Tuhan, kenyataan apa lagi yang Engkau nyatakan kepadaku? Apakah Engkau mengajarkanku cara bersyukur kepada-Mu?

Sesampainya di halte, ternyata ada orang yang bernasib sama sepertiku. Aku mengambil posisi duduk disampingnya, siapa tahu tujuan kita sama. Aku melihat barang yang dibawa dalam genggaman tanganya, judulnya tidak jelas karena tertutup oleh jari-jari tanganya, tetapi nama penulisnya jelas, itu namaku!

Baca Juga: Di Antara Aku

“Permisi, bolehkah aku melihat apa yang dibawa olehmu?” aku meminta dengan hati-hati dan ternyata wajah yang dimilikinya mirip dengan wajah yang kumiliki hanya saja dia terlihat lima tahun lebih dewasa.

“Salam kenal, Ravi.” Ia tak hanya membalas permintaanku, ia juga tahu namaku. “Aku datang dari masa depan, karena sepertinya aku perlu berurusan dengan diriku di umurku yang sekarang,”

Aku tak mengerti apa yang ia sampaikan. Apakah itu benar adanya? Hebat sekali, rencana macam apa yang Tuhan buat kepadaku sampai aku diberi kesempatan untuk menemui diriku di masa yang akan datang?

“Kamu tak perlu tahu alasanya. Itu adalah sesuatu yang rumit untuk dijelaskan,” jawabnya sambil menyinggungkan kedua sudut bibirnya, seakan bisa membaca pertanyaanku yang tak kulontarkan dengan lidahku.

Aku bertanya bingung, “Benarkah ini diriku di masa depan? Bagaimana aku di masa depan?”

“Aku? Aku sedang menjalani proyek karena karyaku berhasil menarik banyak pembaca dan mengantarkan potensi terbesarnya yaitu diadaptasikan dalam dunia perfilman. Dan pada tepatnya kau pulang malam, kesempatan terbesarku untuk menemuimu karena aku menghindari keramaian yang menyebabkan rahasia ini terbongkar,” jawab diriku lima tahun yang akan datang itu.

Aku bertanya sekali lagi dengan antusias, “Apakah itu adalah hal yang mudah? Aku seperti tak percaya akan melakukan hal besar itu,” dari dahulu, cita-citaku adalah penulis. Itu semua berkat papa yang selalu mengajak keluarga kami untuk pergi ke toko buku ketika liburan, dan bersatunya perpustakaan dan ruang tamu di rumah kami.

“Tentu tidak,” diriku yang lima tahun mendatang tersenyum getir. “Ini adalah karya setelah puluhan bahkan ratusan kali ditolak. Penulis profesional adalah penulis amatiran yang pantang menyerah. Selalu mau memperbaiki kualitas ceritanya, kosakata diksi yang dipilih, menjadikan kritikan sebagai evaluasi dan motivasi, menjadikan saran sebagai improvisasi. Aku selalu mencoba untuk tidak meninggalkan hal yang aku suka, yaitu menulis sebisaku. Ini adalah karya perjuangan yang tak kenal lelah,” imbuhnya.

Penulis profesional adalah penulis amatiran yang pantang menyerah.

“Apa benar aku akan menjadi orang yang seperti itu?”tanyaku senang.

“Tentu tidak,” senyum getirnya masih saja belum hilang. “Makanya, semangat kamu jangan sampai lelah. Demi masa depan yang cerah, kamu tidak boleh lelah! Kalau kamu tak kenal lelah, tak meninggalkan kebiasaan membacamu, tak meninggalkan rencana menulismu, kamu pasti bisa! Kamu mungkin lelah, tapi bagaimana caramu menyikapi sikap lelahmu itu. Kalau kamu tak melakukan itu semua, mungkin saja kamu tidak menjadi aku yang sekarang. Semangat aku!” ia menggenggam tanganku erat, tanda salam perpisahanya padaku.

Aku berpikir atas semua kejadian yang terjadi padaku hari ini. Kehidupan mengajariku bahwa selama masih mempunyai kaki yang bersepatu untuk berjalan, tempat teduh untuk kembali, makanan untuk pengisi tenaga, kedua tangan yang utuh untuk berusaha, bersyukurlah dan jangan berputus asa. Tak ada manusia yang tak lelah, semua nyawa mendapati ujianya masing-masing, yang membedakan hanyalah batu ujianya.

Komentar ditutup.