CerpenSastra

Rumah Kecil

Langit kalbu masih saja menggantung, menguasai hamparan cakrawala, membuat senja hari itu tak menampilkan keelokanya seperti biasa ia menunjukkanya. Perlahan rintik-rintik air keluar dari tubuh langit. Rintiknya menendang air laut, menyiram lembut pelabuhan kota itu.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Gelas yang mengepulkan aroma jahe hangat berpadu cinta baru saja tertata di atas meja. Pak Tua itu menyeduhnya setelah anak tertuanya meninggalkan kalimat, “Cuaca hujan sekarang bagus untuk menyeduh jahe hangat, ayah! Silakan dinikmati,”

Pak Tua itu menatap lamat-lamat anaknya. Seperti kenangan masa lalu yang menari di kepalanya, waktu cepat sekali membesarkan anak ini. Seperti baru kemarin sore ia menegur anak tertuanya itu untuk membereskan mainan legonya.

“Budi, bereskan mainan legomu sebelum terinjak oleh yang lain!”

Yang ditegur tetap cuek saja dengan mainan legonya yang berserakan. Budi tetap antusias bagaimana caranya agar bentuk karangan legonya sudah menyerupai helikopter seperti yang ada di gambar petunjuknya.

“Biarkan saja, ayah! Biarkan Budi berkreasi dengan imajinasinya!” Ibu mendukung Budi.

“Tidak! Kakiku sudah sakit dua kali karena menginjak mainan lego mas Budi!” Sri adik Budi menggerutu, sambil mengangkat sisir barbie tinggi-tinggi.

“Ayah? Nanti jahe hangatnya malah dingin,” Budi menghancurkan lamunan pak tua itu.

Gelas yang mengepulkan aroma jahe hangat berpadu cinta baru saja tertata di atas meja.

#

“Ini tangkapan ikan hari ini!”

“Hore! Ikanya banyak! Berarti aku bisa membeli gaun baru untuk barbieku! ” Sri turut senang, membawa barbie yang tak akan pernah terlepas dari tanganya ke pelataran belakang rumah itu.

Ibu datang membawa kue-kue basah. Membawa air mineral untuk mengusir dahaga peluh keringat ayah dan Budi. Mereka berhasil membawa ikan banyak hari ini.

Seperti itulah keseharian aktivitas di keluarga itu. Dalam pelukan senja, melahirkan kehangatan yang ikut memeluk keluarga kecil itu. Mereka tertawa dan bergurau ria. Cinta Rabb ternyata seperti itu, memanifestasikan cinta dengan kehangatan yang Dia hadirkan pada keluarga itu.

 Sri menangis karena takut disentuh kakaknya yang berbau amis. Kali ini senja tak mengingkari janjinya untuk hadir, sampai bola merah raksasa tumbang ke kaki barat diiringi dengan nyanyian gagak.

“Cepat sana mandi, bau kalian semua,” ayah mengakhiri dialog senja itu.

Sri cepat bergegas menuju arah kamar mandi. Berlari secepat mungkin agar kakaknya tidak mendahuluinya. Dia tidak ingin mengantri untuk mandi, dia ingin segera membersihkan dirinya yang terciprat amis.

Ternyata pompa air mereka rusak.

“Ya sudah sana kamu mandi ke laut saja!” perintah ayah kepada Budi.

Budi mudah saja tidak bermasalah untuk mandi ke laut. Yang menjadi sedikit masalah adalah adiknya, Sri. 

Sri menangis, air mereka habis. Harus menunggu beberapa waktu agar pompa mereka berjalan benar setelah diperbaiki.

“Yah?” Sri membuyarkan lamunan ayah.

Pak tua itu tersadar dari lamunanya. Entahlah, pada hari-hari ini ia melihat setiap jengkal rumah adalah kenangan. Makan malamnya sudah dingin. Buku filsafat tebal favoritnya sudah terlempar entah kemana.

Baca Juga: Sekolah Kehidupan

Tut! Tut!

Pemandangan yang biasa di rumah kecil itu. Jika kalian akan berkunjung ke rumah kami, jangan heran jika ke ruang tengah, pagi fajar sudah terjejer rapi ular mobil, truk ataupun kereta mainan. Semua ulah si bungsu. Tugas anak kecil itu bermain bukan?

“Aduh! Bagaimana caranya aku lewat?” Sri sedang mengangkat ember setelah mencuci baju, bingung menemukan jalan. Waktu menumbuhkan Sri, lihatlah ia sudah bisa mencuci bajunya sendiri, tidak seperti dahulu yang selalu menenteng barbie kemana-mana. Sri menyapu pandanganya untuk menemukan jalan yang tepat. Masalahnya, jika Sri melangkahi ular mobil mainan itu, penyusunya akan langsung marah.

Sri agak kesal dengan adik bungsunya itu. Tadi ketika ia sedang mencuci, si bungsu jahil sekali memainkan air keran, membuat cipratanya berlari kemana-mana. Jika dimarahi, si bungsu tak akan paham. Si bungsu kembali mengerjai Sri, mengambil busa cuci dan memainkanya pada tanganya. Dengan tanganya yang tidak berdosa, ia menempelkanya pada rambut Sri. Setelah itu si bungsu lari keluar entah kemana.

Setelah selesai mencuci, ternyata si bungsu sudah selesai membangun kerajaan ular mobil mainanya. Tadi dikerjai, sekarang ada masalah lagi dengan si bungsu. Demi mengejar waktu, Sri melangkahi ular mobil mainan itu. Penyusunya tidak terima, spontan menangis. Sri cuek saja.

“Aduh! Jangan bikin keributan pada pagi hari Sri!” teriak Ibu menegur.

Si Bungsu menjadi tantrum. Ia melemparkan lego ke arah kakaknya, bahkan membanting mobil mainan kesayanganya. Kata ayah jangan dimarahi, karena anak kecil itu tidak tahu apa akibat dari perbuatanya.

Setelah selesai menjemur baju, Sri mengajak si bungsu keluar jalan-jalan pagi. Daripada melihat si bungsu tantrum lalu mencorat-coret tembok, lebih baik ia menghirup udara pagi ke jalan raya yang masih sepi. Itu obat manjur untuk menenangkan si bungsu. Si bungsu sangat antusias melihat jalan raya. Entahlah, apa yang membuat si bungsu sangat antusias kepada setiap orang yang membuka pintu untuk keluar rumah. Mungkin, karena mobil mainanya menjadi nyata jika ia berjalan-jalan di jalan raya.

Sepulang dari jalan-jalan pagi, anehnya si bungsu menangis. Padahal habis melihat jalan raya. Ternyata kakaknya Sri tidak membelikan es krim yang lewat tadi.

“Aku tidak punya uang,” Sri bergidik lalu kabur menuju kamarnya.

Si Bungsu merengek. Melemparkan wajah paling minta dikasihani. Dengan jurus wajahnya itu, siapapun yang menatapnya akan terjerat takluk dengan jurus kasihan yang berhasil dibuatnya.

“Yah? Apa ayah sakit? Akhir-akhir ini ayah jadi sering melamun,” Si Bungsu mengembalikan kesadaran ayah. Memang hari-hari itu berkhianat karena bergerak terlalu cepat, bahkan lebih cepat dari dengungan nyamuk sekalipun. Lihatlah, waktu cepat sekali membesarkan si bungsu ini.

#

Masih di rumah kecil itu. Rumah memang tak selalu tentang eksterior maupun interiornya, yang dapat kalian lihat dengan mata. Dia turut menjadi saksi bisu episode kehidupan keluarga itu. Rumah kecil itu telah menyaksikan perjalanan kehidupan keluarga hangat mereka.

Budi, Sri dan si bungsu berada di dalam rumah kecil itu. Walaupun tak bersama seperti dulu, atau lari-larian siapa paling cepat untuk mandi,  hari ini mereka bersama dalam satu tujuan. Kepemilikan rumah akhirnya ditunjuk kepada Budi, kakak tertua mereka.

Rumah kecil itu telah menyaksikan perjalanan kehidupan keluarga hangat mereka.

 “Rawat rumah ini baik-baik. Selalu jaga kebersihan rumah. Kelak juga ini akan menjadi rumahmu,” nasihat yang sekaligus wasiat ayah mereka dulu.

Mereka menelusuri rumah kecil mereka. Melihat-lihat kembali bangunan fisiknya yang ternyata juga membawakan kenangan kecil mereka.

“Sebenarnya tak tahan ku melihat rumah ini. Jangan terlalu diubah kak, rumah ini menyimpan banyak kenangan. Renovasi ringan saja,” Sri menyarankan.

“Eh, itu coretan tembokmu masih ada,” Sri menunjuk tembok yang pernah dicoret si bungsu dahulu beserta tatapan sinis yang ditujukan kepadanya. Dahulu, si bungsu jahil sekali.

Di tempat yang sama, dalam dimensi yang berbeda. Mereka mengenang nasihat ayah dan ibu, dan menuntut semua kejahilan yang dilakukan si bungsu dahulu.

Mereka hanya tidak tahu, ayah dan ibu membersamai mereka. Hanya tak terlihat dalam pandangan mereka.

Si bungsu merasa haus, mengambil air minum. Tak sadar, gerakanya telah menembus bayangan pak tua yang senyap itu.